ILMU PENGETAHUAN DAN AGAMA (Studi Filsafat Ilmu)
AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu Pengetahuan dan Agama adalah dua entitas yang menduduki posisi penting dalam filsafat ilmu. Keduanya merupakan objek yang menarik untuk diperbincangkan. Posisi kedua cabang disiplin ilmu tersebut saling memberikan nilai positif dalam menjawab persoalan-persoalan kehidupan dan kemanusiaan. Hal itu disebabkan oleh fitrah manusia sebagai mahluk berfikir yang selalu menghendaki rasionalitas. Manusia juga mengalami dan menyaksikan problema-problema yang terkait dengan dimensi-dimensi misteri dalam kehidupan yang tidak dapat dipecahkan kecuali dengan merujuk pada agama, sehingga eksistensi agama—yang selain—sebagai sistem kepercayaan yang mengharuskan adanya kebenaran, juga sebagai tindakan praktis terhadap aplikasi kepercayaan (iman) yang telah diakui kebenaraanya melalui metodologi ilmu pengetahuan yang telah disepakati kebenarannya.
Karya ilmiah ini, fokus kajiannya tentang ilmu pengetahuan, agama serta hubungan ilmu pengetahuan dan agama. Dalam penulisan karya ilmiah, penulis sadar bahwa karya ilmiah ini jauh dari kesempurnaan sehingga membutuhkan saran yang membangun demi terciptanya kebenaran yang seutuhnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah suatu sistem pengetahuan dari berbagai pengetahuan, mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu, yang disusun sedemikian rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan atau sistem dari berbagai pengetahuan. James menjelaskan, ilmu pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan.[2] Ilmu pengetahuan tidak dipahami sebagai pencarian kepastian, melainkan sebagai penyeledikan yang berkesinambungan.
Ilmu pengetahuan juga bisa merupakan upaya menyingkap realitas secara tepat dengan merumuskan objek material dan objek formal.Upaya penyingkapan realitas dengan memakai dua perumusan tersebut adakalanya menggunakan rasio dan empiris atau mensintesikan keduanya sebagai ukuran sebuah kebenaran (kebenaran ilmiah). Penyingkapan ilmu pengetahuan ini telah banyak mengungkap rahasia alam semesta dan mengeksploitasinya untuk kepentingan manusia.
Dewasa ini, ilmu pengetahuan yang bercorak empiristik dengan metode kuantitatif (matematis) lebih dominan menduduki dialektika kehidupan masyarakat. Hal ini besar kemungkinan karena banyak dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran positivistiknya Auguste Comte yang mengajukan tiga tahapan pembebasan ilmu pengetahuan.[3] Pertama, menurut Auguste Comte ilmu pengetahuan harus terlepas dari lingkungan teologik yang bersifat mistis. Kedua, ilmu pengetahuan harus bebas dari lingkungan metafisik yang bersifat abstrak. Ketiga, ilmu pengetahuan harus menemukan otonominya sendiri dalam lingkungan positifistik.
a. Bentuk Ilmu Pengetahuan
Menurut beberapa pakar, ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai rangkaian aktifitas berfikir dan memahami dengan mengikuti prosedur sistematika metode dan memenuhi langkah-langkahnya.[4] Dengan pola tersebut maka akan dihasilkan sebuah pengetahuan yang sistematis mengenai fenomena tertentu, dan mencapai kebenaran, pemahaman serta bisa memberikan penjelasan serta melakukan penerapan.
Secara garis besar, ilmu pengetahuan dibagi menjadi dua bentuk, yakni ilmu eksakta dan ilmu humaniora. Ilmu eksakta adalah spesifikasi keilmuan yang menitikberatkan pada hukum sebab akibat. Penilaian terhadap ilmu-ilmu eksakta cenderung memakai metode observasi yang digunakan sebagai cara penelitiannya dan mengukur tingkat validitasnya. Dengan model tersebut, penelitian terhadap ilmu-ilmu eksakta sering mendapatkan hasil yang objektif. Sedangkan ilmu humaniora merupakan spesifikasi keilmuan yang membahas sisi kemanusian selain yang bersangkutan dengan biologis maupun fisiologisnya. Hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan ini lebih tertitik tekan dalam masalah sosiologis dan psikologisnya.
Menurut Jujun, cabang atau bentuk ilmu pada dasarnya berkembang dari cabang utama, yakni filsafat alam yang kemudian berafiliasi di dalamnya ilmu-ilmu alam (the natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang menjadi menjadi cabang ilmu-ilmu social (the social sciences).[5] Dari kedua cabang tersebut, klasifikasi keilmuan menjadi kian tak terbatas. Diperkirakan sampai sekarang ini, terdapat sekitar 650 cabang keilmuan yang masih belum banyak dikenal.[6] Kepesatan kemajuan perkembangan ilmu ini demikian cepat, hingga tidak menutup kemungkinan sepuluh tahun ke depan, klasifikasi keilmuan bisa mencapai ribuan jumlahnya.
Sekian banyak jumlah cabang keilmuan tersebut, bermula dari ilmu alam yang membagi diri menjadi dua kelompok, yakni ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hidup (hayat/the biological sciences).[7] Ilmu alam ini bertujuan untuk mempelajari zat yang membentuk alam semesta. Ilmu ini kemudian membentuk rumpun keilmuan yang lebih spesifik, misalnya sebagai ilmu fisika yang mempelajari tentang massa dan energi, ilmu kimia yang membahas tentang substansi zat, ilmu astronomi yang berusaha memahami kondisi benda-benda langit dan ilmu-ilmu lainnya. Dari rumpun keilmuan ini kemudian membentuk ranting-ranting baru, seperti kalau dalam fisika ada yang namanya mekanik, hidrodinamika, bunyi dan seterusnya yang masih banyak lagi ranting-ranting kecil.
Disiplin keilmuan tersebut di atas terlahir dari beberapa sumber. Ilmu pengetahuan yang terlahir dari sumber yang berdampak pada perbedaan dari masing-masing jenis keilmuan. Meskipun demikian tidak semua orang mempercayai dan mengakui keilmuan seseorang yang kebetulan muncul dari sumber yang tidak diyakini oleh kebanyakan masyarakat. Misalnya ilmu ladunniy yang diyakini adanya di kawasan Timur namun tidak dipercaya di daerah Barat.
Dalam buku Filsafat Ilmu karya Amsal Bakhtiar dikatakan bahwa ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan keluar dari empat hal.[8] Pertama adalah Empirisme, menurut aliran ini seseorang bisa memperoleh pengetahuan dengan pengalaman inderawinya. Dengan indera manusia bisa menghubungkan hal-hal yang bersifat fisik ke medan intensional, atau menghubungkan manusia dengan sesuatu yang kongkret-material. Kedua adalah Rasionalisme, aliran ini menyatakan bahwa akal merupakan satu-satunya sumber kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang diakui benar semata-mata hanya diukur dengan rasio.
Ketiga adalah intuisi. Menurut Henry Bergson yang dikutip oleh Bakhtiar, intuisi adalah hasil evolusi dari pemahaman yang tertinggi. Intuisi ini bisa dikatakan hampir sama dengan insting, namun berbeda dalam tingkat kesadaran dan kebebasannya. Untuk menumbuhkan kemampuan ini, diperlukan usaha dan kontinuitas latihan-latihan. Ia juga menambahkan bahwa intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis yang meliputi harus adanya analisis, menyeluruh, mutlak dan lain sebagainya. Karena itu, intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Keempat adalah wahyu, sumber ini hanya khusus diperoleh melalui para Nabi yang menerima pengetahuan langsung dari Tuhan semesta alam. Para Nabi memperoleh pengetahuan tanpa upaya dan tanpa memerlukan waktu tertentu. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan.
Selengkapnya baca: http://kanjengbasith.wordpress.com/2012/03/23/ilmu-pengetahuan-dan-agama-studi-filsafat-ilmu/
No comments:
Post a Comment